Biografi Datuk Ri Tiro
BIOGRAFI DATUK RI TIRO
Nama : Datuk Ri Tiro
Nama Lahir : Nurdin Ariyani atau Abdul Jawad
Lahir : Abad ke -16 Kota Tengah Minangkabau
Meninggal : Tiro, Sulawesi Selatan
Nama Lain : Khatib Bungsu
Pekerjaan : Ulama
Dikenal Karena telah menyebarkan Agama Islam di Sulawesi selatan dan Kerajaan Bima Nusa Tenggara
Datuk ri Tiro, bernama asli Nurdin Ariyani/Abdul Jawad, dengan gelar Khatib Bungsu adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan serta Kerajaan Bima di Nusa Tenggara sejak kedatangannya pada penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya. Dia bersama dua orang saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib Sulung serta Datuk ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah timur nusantara pada masa itu.
DAKWAH ISLAM
Ulama Dari Sumatera Dari berbagai literatur diketahui bahwa Dato Tiro sebenarnya hanyalah sebuah gelar yang diberikan oleh masyarakat setempat atas penghargaan dan rasa hormat. Nama aslinya adalah Abdul Djawad. Versi lain menyebut nama aslinya adalah Nurdin Ariyani. Abdul Djawad atau Al Maulana Khatib Bungsu datang ke Sulawesi Selatan bersama dua orang sahabatnya dari Sumatera, yaitu: Khatib Makmur yang lebih dikenal dengan nama Dato ri Bandang, dan Khatib Sulaiman yang lebih dikenal dengan Dato Patimang.
Mereka bertiga adalah murid atau santri dari Pesantren Sunan Giri. Sunan Giri adalah nama salah seorang walisongo (wali sembilan yang merupakan penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17) dan pendiri kerajaan Guru Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin, dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kebomas, Gresik. Pada tahun 1600-an Masehi, Abdul Djawad menyiarkan agama Islam di Tiro (Bulukumba) dan sekitarnya. Adapun raja yang pertama diislamkan dalam kerajaan Tiro adalah Launru Daeng Biasa yang bergelar Karaeng Ambibia.
Dato ri Tiro adalah salah satu dari tiga orang Datuk penyebar agama Islam awal di Sulawesi Selatan. Bersama dua rekannya yang lain, Dato ri Bandang dan Dato Patimang, mereka merintis jalan menuju penyebaran Islam di salah satu jantung kebudayaan nusantara ini. Nama asli beliau adalah Al Maulana Khatib Bungsu Syaikh Nurdin Ariyani. Mereka bertiga kemudian membagi wilayah Sulawesi Selatan menjadi tiga bagian; Dato Patimang menyebarkan Islam di daerah utara (Suppa, Soppeng, Luwu), Dato ri Bandang menyebarkan Islam di daerah tengah (Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng), kemudian Dato ri Tiro menyebarkan Islam di daerah selatan (Bulukumba dan sekitarnya).
Setiap orang ini kemudian menyebarkan Islam dengan metode masing-masing yang disesuaikan dengan budaya setempat. Dato ri Tiro, sesuai dengan budaya di bagian selatan ini, kemudian menyebarkan Islam yang lebih bercorak tasawuf. Dalam penerapannya, beliau tidak terlalu mementingkan keteraturan syariat. Salah satu ajaran beliau yang terkenal adalah "dalam menyusun lima telur, yang pertama diletakkan tidak selalu yang menempati urutan pertama". Artinya, penerapan lima rukun Islam tidak lah harus berurutan mulai dari syahadat sampai haji. Setiap kita boleh memilih apa yang kita rasa lebih memudahkan. Puasa, jika pun dirasakan lebih mudah daripada shalat, dapat dilakukan terlebih dahulu, demikian pula dengan syariat-syariat yang lain.
Perlu disampaikan pula bahwa masyarakat daerah ini sangat kuat memegang kepercayaan dinamisme, dan banyak memiliki kesaktian dan jampi-jampi yang mujarab. Menurut kisah yang diteruskan secara turun temurun, Dato ri Tiro memilih daerah Bontotiro pesisir sebagai pusat penyebaran agama Islam. Daerah ini adalah daerah tandus dan berbatu. Beliau kemudian mencari sumber air (karena ternyata daerah ini dialiri oleh sungai bawah tanah dengan kapasitas yang besar), dengan menancapkan tongkat beliau pada batu dan memancarlah air. Sumber air ini kemudian menganak-sungai, yang kemudian disebut dengan Sungai Salsabila, mengambil nama salah satu sungai yang terdapat di Surga.
Launru Daeng Biasa adalah cucu keempat dari Karaeng Samparaja Daeng Malaja yang bergelar Karaeng Sapo Batu yang merupakan raja pertama di Tiro. Kedatangan Abdul Jawad yang bergelar Al Maulana Khatib Bungsu ke Tiro (Bontotiro) dapat diterima oleh masyarakat setempat, karena dirinya memiliki kesaktian dan sentuhan ajaran Islam yang dibawanya menanamkan kesadaran religius keyakinan untuk hidup zuhud, suci lahir batin, selamat dunia akhirat, dalam kerangka tauhid ‘appasseuang (meng-Esakan Allah SWT). Berbeda dengan sahabatnya (khatib Makmur atau Dato ri Bandang, dan Khatib Sulaiman atau Dato Patimang), khatib Abdul Djawad menekankan pelajaran tasawwuf sesuai dengan keinginan masyarakat yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat kabatinan.
Setelah mendapatkan kepercayaan dari seluruh masyarakat di Bontotiro melalui "keajaiban" yang ditampilkannya, beliau kemudian menghadap pada Karaeng Tiro, raja yang berkuasa di daerah ini dengan maksud mengislamkan sang raja. Tapi karena Karaeng Tiro dalam keadaan sakaratul maut, maka Dato ri Tiro langsung menuntun sang raja untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam tiga kali percobaan pengucapan, Karaeng Tiro selalu salah mengucap; "Asyhadu allaa hila hila hilaa", dan baru pada pengucapan keempat beliau dapat melafazkannya dengan benar. Karena peristiwa ini, dusun tempat tinggal Karaeng Tiro kemudian dinamakan Dusun Hila-Hila. Sampai akhir hayatnya, Dato ri Tiro menghabiskan hidup beliau di dusun ini.
Dato ri Tiro kemudian melanjutkan dakwahnya menuju daerah Kajang. Daerah ini adalah daerah adat yang diperintah oleh Ammatoa. Daerah ini adalah daerah yang paling kuat memegang adat, bahkan hingga hari ini. Mirip-mirip suku Badui di Banten, para penduduk daerah ini menggunakan pakaian hitam-hitam dan tidak mengijinkan perkembangan teknologi memasuki daerah mereka. Pada proses dakwahnya, Dato ri Tiro kemudian berhasil mengislamkan daerah ini. Tapi karena proses yang belum selesai, ada beberapa kesalahpahaman yang timbul. Salah satunya adalah kepercayaan penduduk Kajang bahwa Al-Qur'an diturunkan pertama kali di daerah ini, karena Dato ri Tiro membawa Kitab Suci Al-Qur'an ke daerah ini pada saat proses dakwah berlangsung. Hal lainnya adalah falsafah sufi yang mereka pegang kuat; "Sambayang tamma tappu, je'ne tamma luka", yang artinya "Shalat yang tak pernah putus, wudhu yang tak pernah batal". Hal ini mengisyaratkan penguasaan hakikat shalat dan wudhu yang mensyaratkan kondisi suci lahir-batin serta menyebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Puasa Ramadhan yang mereka jalani pun cuma tiga hari; awal, pertengahan dan akhir ramadhan saja. Hal ini dapat dimaklumi karena mungkin Dato ri Tiro tidak ingin memberatkan mereka pada awal mereka masuk Islam.
Khatib Abdul Jawad inilah yang menjadi mubalig sampai akhir hayatnya di Tiro Kabupaten Bulukumba, sehingga masyarakat setempat memberinya gelar Dato Tiro. Kata dato digunakan oleh masyarakat setempat karena dialek mereka sulit mengucapkan kata datuk, tetapi dato sama artinya dengan datuk. Kata dato kemudian berubah arti menjadi kakek atau nenek atau orang tua yang dihormati. dari dusun Hila-hila di Kecamatan Bontotiro ini, Dato ri Tiro menyebarkan cahaya Islam yang sangat inklusif sehingga ajaran-ajaran beliau tentang Islam yang mensyaratkan kebaikan kepada alam semesta dapat terus diamalkan. Adapun peninggalan-peninggalan beliau adalah Sungai Salsabila yang terus diziarahi pengunjung sampai sekarang, Sumur Limbua di pantai Tiro, serta Makam Dato ri Tiro yang juga tetap diziarahi sampai hari ini. Peninggalan beliau yang dalam bentuk social capital adalah ikatan persaudaraan yang beliau bentuk antara orang Tiro dan orang Kajang; "Kaluku attimbo ri Kajang, bua na a'dappo ri Tiro", yang artinya "Pohon kelapa yang tumbuh di Kajang, buahnya dinikmati di Tiro". Karena itu, upacara akil baligh orang-orang kajang disyaratkan untuk mandi di Sungai Salsabila di Hila-hila.
WAFAT
Setelah beberapa lama melaksanakan dakwah Islam, akhirnya Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro berhasil mengajak raja Karaeng Tiro (Sulawesi Selatan) serta raja Bima (Nusa Tenggara) masuk Islam. Sang pendakwah itu tidak kembali lagi ke Minangkabau sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.
MAKAM
Wisata Bulukumba - Sejarah Makam Dato Tiro Salah satu objek wisata andalan pemerintah dan masyarakat Kabupaten Bulukumba adalah Makam Dato Tiro, di kampung Hila-hila, Kelurahan Eka Tiro, Kecamatan Bontotiro. Makam yang sudah berusia ratusan tahun itu, hingga kini tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan, baik wisatawan lokal, maupun wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara.Lokasi objek wisata tersebut terletak sekitar 180 km dari Kota Makassar yang dapat ditempuh dengan perjalanan darat dengan waktu sekitar 4-5 jam. Tarif bis umum dari Makassar ke Bontotiro antara Rp 40.000 hingga Rp 50.000.
Mengapa objek wisata tersebut menarik dikunjungi? Ada beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut. Pertama, karena Dato Tiro adalah pembawa agama Islam di Bulukumba, sehingga makamnya memiliki nilai sejarah. Kedua, karena Dato Tiro konon memiliki kesaktian, antara lain dari tarikan tongkat yang selalu dibawanyalah sehingga tak jauh dari makamnya terbentuk sebuah sumur panjang yang sudah berusia ratusan tahun, tetapi hingga kini airnya masih bening dan jernih. Sebagian masyarakat setempat percaya bahwa air yang bening dan jernih tersebut diduga kuat keluar dari celah-celah dinding batu, bukan dari pasir putih yang ada di dasar sumur.
Tidak sedikit pula yang yakin bahwa dengan mandi di sumur panjang di tepi jalan tersebut, maka selain dapat menikmati sejuk dan segar air sumur, penyakit kita akan sembuh, baik penyakit medis, maupun penyakit non-medis.Ketiga, karena banyak orang percaya (baik yang beragama Islam maupun non-muslim) bahwa setelah berkunjung ke makam Dato Tiro maka kita akan mendapatkan sesuatu atau keinginan kita akan terpenuhi. Banyak wisatawan mengaku berkunjung ke Makam Dato Tiro karena memang sudah meniatkan (nadzar) sejak lama bahwa dirinya akan berkunjung ke sana jika keinginannya tercapai atau terpenuhi.
Dengan tiga alasan tersebut, tak salah kiranya kalau dikatakan Makam Dato Tiro di Bulukumba sebagai objek wisata sejarah, budaya, dan religius. Maka tak perlu heran pula bahwa meskipun Dato Tiro adalah seorang ulama dan pembawa agama Islam di Bulukumba, tetapi wisatawan yang berkunjung bukan hanya orang yang beragama Islam melainkan juga non-muslim.
Sekian biografi dari Datuk Ri Tiro. Biografi ini dibuat untuk melengkapi tugas kuliah yang diberakan kepada kelompok kami yang benama kelompok Datuk Ri Tiro. Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu.
Siapa saja nama keturunan dari Datuk Ri Tiro.yg ada di Bima Nusa tenggara..??
BalasHapusMinta email nya biar saya kirimkan silsilah keturunan datuk ri tiro yang dibima
HapusAda di saya silsilah keturunannya..
Hapus